Aku terbangun dari kotor dan dinginnya bawah jembatan ini. Begitu juga dari suara-suara kendaraan bermotor yang silih berganti. Tapi ini sudah biasa bagiku. Ketika kubuka mata ini, pikiran dan perutku seakan mengerti. Saatnya kucari sesuap nasi. Menelusuri rimba rayanya kota, tertatih pada rintih kaki dan berpeluh pada guritan derita.
Kakiku terus melangkah, sementara
perutku pun terus mendendangkan lagu keroncongnya. Kutilik dibalik rumah
mewah itu. Bahagia sekali, mereka sarapan pagi bersama dengan makanan
telah tersaji diatas meja. Sementara aku?? Berapa kilometer lagi harus
kutempuh?? “Aku tak seberuntung mereka”.
Di teriknya matahari yang seakan
ingin membakar kulitku, aku harus mengais rejeki. Di jalanan, di
perempatan, di warung-warung, tak peduli betapa teriknya siang ini.
Dengan lagu kudendangkan juga dengan tangan menengadah. Pengemis,
pengamen, mungkin itu kata yang lebih tepat. Anak jalanan, anak
terlantar, apapun kata mereka aku tak peduli. Buat aku yang terpenting
adalah bagaimana menyambung nyawaku.
Kutengok di balik gedung itu.
Nyamannya mereka, tidak kepanasan, duduk disana, mendapatkan pendidikan,
mendapatkan teman pula. Inginnya aku bersekolah. Tapi uang dari mana?
Bagaimana bisa? Kalaupun telah ada sekolah gratis, belum tentu yang
lainnya gratis. Kalaupun aku sekolah, bagaimana aku bisa mencari sesuap
nasi? Sekali lagi aku harus berkata, “Aku tak seberuntung mereka”.