Aku terbangun dari kotor dan dinginnya bawah jembatan ini. Begitu juga dari suara-suara kendaraan bermotor yang silih berganti. Tapi ini sudah biasa bagiku. Ketika kubuka mata ini, pikiran dan perutku seakan mengerti. Saatnya kucari sesuap nasi. Menelusuri rimba rayanya kota, tertatih pada rintih kaki dan berpeluh pada guritan derita.
Kakiku terus melangkah, sementara
perutku pun terus mendendangkan lagu keroncongnya. Kutilik dibalik rumah
mewah itu. Bahagia sekali, mereka sarapan pagi bersama dengan makanan
telah tersaji diatas meja. Sementara aku?? Berapa kilometer lagi harus
kutempuh?? “Aku tak seberuntung mereka”.
Di teriknya matahari yang seakan
ingin membakar kulitku, aku harus mengais rejeki. Di jalanan, di
perempatan, di warung-warung, tak peduli betapa teriknya siang ini.
Dengan lagu kudendangkan juga dengan tangan menengadah. Pengemis,
pengamen, mungkin itu kata yang lebih tepat. Anak jalanan, anak
terlantar, apapun kata mereka aku tak peduli. Buat aku yang terpenting
adalah bagaimana menyambung nyawaku.
Kutengok di balik gedung itu.
Nyamannya mereka, tidak kepanasan, duduk disana, mendapatkan pendidikan,
mendapatkan teman pula. Inginnya aku bersekolah. Tapi uang dari mana?
Bagaimana bisa? Kalaupun telah ada sekolah gratis, belum tentu yang
lainnya gratis. Kalaupun aku sekolah, bagaimana aku bisa mencari sesuap
nasi? Sekali lagi aku harus berkata, “Aku tak seberuntung mereka”.
Pada
tahap awal, Allah s.w.t. bermaksud mengajar manusia ketentuan-ketentuan
yang bisa disebut dasar, dengan cara merubah kondisi manusia dari taraf
binatang liar ke derajat akhlak tingkat rendah yang bisa dikatakan
sebagai kebudayaan atau tamadhun. Kemudian Dia melatih dan mengangkat
manusia dari tingkat akhlak yang mendasar ke tingkatan akhlak yang lebih
tinggi. Sebenarnya perubahan kondisi alamiah demikian semua itu adalah
satu proses, hanya saja terdiri dari beberapa tingkatan. Allah yang Maha
Bijaksana telah memberikan sistem akhlak yang sedemikian rupa sehingga
manusia bisa merambat dari tingkat akhlak yang mendasar ke tingkatan
yang lebih tinggi. Tingkat ketiga dari perkembangan demikian itu adalah
manusia berupaya memperoleh kecintaan dan keridhoan Pencipta-nya dimana
keseluruhan wujud dirinya diabdikan kepada Allah s.w.t. Pada tingkat
inilah keimanan para Muslim disebut sebagai Islam yang bermakna
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t. tanpa ada yang tersisa.