Pada
tahap awal, Allah s.w.t. bermaksud mengajar manusia ketentuan-ketentuan
yang bisa disebut dasar, dengan cara merubah kondisi manusia dari taraf
binatang liar ke derajat akhlak tingkat rendah yang bisa dikatakan
sebagai kebudayaan atau tamadhun. Kemudian Dia melatih dan mengangkat
manusia dari tingkat akhlak yang mendasar ke tingkatan akhlak yang lebih
tinggi. Sebenarnya perubahan kondisi alamiah demikian semua itu adalah
satu proses, hanya saja terdiri dari beberapa tingkatan. Allah yang Maha
Bijaksana telah memberikan sistem akhlak yang sedemikian rupa sehingga
manusia bisa merambat dari tingkat akhlak yang mendasar ke tingkatan
yang lebih tinggi. Tingkat ketiga dari perkembangan demikian itu adalah
manusia berupaya memperoleh kecintaan dan keridhoan Pencipta-nya dimana
keseluruhan wujud dirinya diabdikan kepada Allah s.w.t. Pada tingkat
inilah keimanan para Muslim disebut sebagai Islam yang bermakna
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah s.w.t. tanpa ada yang tersisa.
Dalam istilah bahasa Arab, kata
Islam mengandung arti uang yang dibayarkan untuk menyelesaikan suatu
perjanjian, atau menyerahkan urusan kepada seseorang, atau mencari
kedamaian, atau menyerah mengenai suatu hal atau pandangan. Pengertian
tehnikal daripada Islam dikemukakan dalam ayat:
‘Yang benar
adalah, barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah dan ia juga berbuat
kebajikan, maka baginya ada ganjaran di sisi Tuhan-nya. Dan tak akan
ada ketakutan menimpa mereka mengenai yang akan datang dan tidak pula
mereka akan berdukacita mengenai apa yang sudah lampau’ (QS. Al-Baqarah:113).
Dengan
demikian Islam berarti seseorang yang menyerahkan diri sepenuhnya di
jalan Allah yang Maha Kuasa, yaitu orang yang mengabdikan diri
sepenuhnya kepada Allah yang Maha Perkasa dalam mengikuti petunjuk-Nya
dan berusaha mencari keridhoan-Nya, lalu bersiteguh melakukan amal baik
demi Allah s.w.t.dan mengerahkan seluruh kemampuan dirinya untuk tujuan
tersebut. Dengan kata lain ia menjadi milik Allah sepenuhnya, baik
secara akidah mau pun pelaksanaannya.
Menjadi milik Allah secara
akidah mengandung arti bahwa seseorang meyakini bahwa dirinya
diciptakan sebagai mahluk yang mengakui Allah yang Maha Kuasa, patuh
kepada-Nya serta mencari kasih dan keridhoan-Nya. Menjadi milik Allah
dalam pelaksanaan bermakna melakukan segala sesuatu yang baik dengan
segala kemampuannya secara rajin dan penuh perhatian seolah-olah melihat
wujud yang Maha Terkasih sebagai cermin keitaatannya.
Realitas
daripada Islam adalah seperti menyerahkan leher kita kepada Allah s.w.t.
sebagaimana seekor domba kurban, meninggalkan semua keinginan diri
sendiri dan mengabdi sepenuhnya kepada keinginan dan keridhoan Allah,
melenyapkan diri di dalam Tuhan dan seolah memfanakan dirinya sendiri,
diwarnai dengan kasih Allah serta taat penuh kepada-Nya semata-mata
karena mengharapkan Kasih-Nya, memperoleh mata yang bisa melihat melalui
Dia dan mendapatkan telinga yang bisa mendengar semata-mata melalui
Wujud-Nya, menyempurnakan hati yang sepenuhnya diabdikan kepada-Nya, dan
mendapat lidah yang bicara semata-mata berdasar perintah-Nya. Ini
adalah tingkatan dimana semua kegiatan pencaharian telah berakhir,
kemampuan manusia telah menyelesaikan semua fungsi-fungsinya dan ego
manusia menjadi mati sama sekali. Pada saat itu barulah rahmat Ilahi
akan memberikan kepada si pencari itu hidup yang baru melalui
kata-kata-Nya yang hidup dan Nur-Nya yang bercahaya. Ia itu akan
memperoleh kehormatan berkomunikasi dengan Allah s.w.t. dan sebuah Nur
yang indah yang tidak bisa dikenali melalui penalaran biasa serta tidak
dikenal oleh mata manusia, akan masuk ke dalam hatinya sebagaimana
firman Allah:
‘Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaf:17).
Melalui cara demikian, Allah
mengaruniakan kedekatan Wujud-Nya kepada manusia. Kemudian datang
saatnya dimana kebutaan yang bersangkutan diangkat dan matanya diberi
wawasan mendalam dimana manusia akan melihat Tuhan-nya dengan mata yang
baru, mendengar suara-Nya serta merasa dirinya diselaputi jubah Nur-Nya.
Dengan cara demikian itulah tujuan agama tercapai dan setelah bertemu
dengan Tuhan-nya maka manusia akan membuang baju kotor dari kehidupan
rendahnya dan mengenakan jubah Nur serta menanti penampakan Allah dan
surga, tidak semata-mata sebagai janji yang akan dipenuhi di akhirat,
tetapi dalam kehidupan sekarang pun ia sudah akan memperoleh karunia
pemandangan, komunikasi dan surga itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan
Allah s.w.t. bahwa:
‘Adapun orang-orang yang
berkata: “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka bersiteguh,
malaikat-malaikat turun kepada mereka sambil meyakinkan mereka:
“Janganlah kamu takut dan jangan pula berduka cita, dan bergembiralah
atas khabar suka tentang surga yang telah dijanjikan kepadamu” (QS. Ha Mim As-Sajdah:31).
Hal
ini berarti bahwa para malaikat akan turun kepada mereka yang
menyatakan bahwa Tuhan mereka adalah yang Maha Esa yang memiliki semua
sifat sempurna, yang tidak mempunyai sekutu dalam Wujud maupun
Sifatsifat-Nya, dimana setelah mengikrarkan demikian mereka lalu
bersiteguh sehingga tidak ada yang namanya gempa bumi, bencana atau pun
ancaman kematian bisa menggoyang keimanan mereka. Allah s.w.t. berbicara
dengan mereka dan meyakinkan mereka agar tidak perlu merasa takut atas
segala bencana atau musuh serta jangan merasa sedih atas segala kesialan
mereka di masa lalu. Dia meyakinkan mereka bahwa Dia ada beserta mereka
dan bahwa Dia telah mengaruniakan kepada mereka surga di dunia ini juga
sebagaimana dijanjikan dimana mereka bisa bergembira di dalamnya.
Ini adalah janji yang sekarang ini
pun telah dipenuhi. Banyak kesaksian dari ribuan orang dalam Islam yang
rendah hati yang telah menikmati surga keruhanian sebagaimana dijanjikan
dalam firman tersebut. Para penganut Islam yang benar oleh Allah yang
Maha Kuasa telah dijadikan pewaris dari para muttaqi terdahulu dan
mereka memperoleh karunia sama seperti yang telah diterima para
pendahulunya itu.
Seseorang dikatakan Muslim jika
seluruh wujudnya beserta seluruh kemampuannya, baik jasmani maupun
ruhani, diabdikan seluruhnya kepada Allah yang Maha Agung dan amanah
yang ditugaskan oleh yang Maha Agung dilaksanakan olehnya demi atas nama
yang Maha Memberi. Ia itu harus memperlihatkan ke-Muslimannya tidak
saja secara akidah tetapi juga dalam amal perbuatan. Dengan kata lain,
seorang yang mengaku sebagai Muslim harus membuktikan bahwa tangan dan
kaki, hati dan fikiran, penalaran dan pemahaman, kemarahan dan kasih,
kelembutan dan pengetahuan, semua kemampuan jasmani dan ruhani,
kehormatan dan harta bendanya, kesenangan dan kesukaan serta apa pun
yang berkaitan dengan dirinya dari puncak kepala sampai ke alas kakinya,
berikut dengan segala motivasi dirinya, segala ketakutan, segala nafsu,
telah dibaktikan kepada Allah yang Maha Perkasa sebagaimana anggota
tubuhnya sendiri berbakti kepada dirinya.
Harus dibuktikan bahwa
ketulusannya telah mencapai suatu tingkatan dimana apa pun yang menjadi
miliknya bukan lagi haknya tetapi menjadi milik Allah yang Maha Agung,
dan bahwa semua anggota tubuh serta kemampuan dirinya telah demikian
diabdikan kepada pelayanan Allah s.w.t. seolah-olah semuanya itu menjadi
anggota tubuh Ilahi.
Renungan atas ayat-ayat tersebut (QS.
Al-BAqarah:113) menunjukkan secara jelas bahwa mengabdikan hidup
seseorang kepada pengkhidmatan Allah s.w.t., yang merupakan inti pokok
daripada agama Islam, mengandung dua aspek. Pertama, bahwa Allah yang
Maha Kuasa harus menjadi tumpuan kepercayaan dan sasaran yang haqiqi
serta yang terkasih, dan bahwa tidak ada satu pun yang disekutukan dalam
penyembahan Wujud-Nya, kecintaan kepada-Nya serta harapan kepada-Nya.
Semua firman, batasan, larangan serta ketentuan-Nya harus diterima
dengan kerendahan hati. Semua kebenaran dan pemahaman yang menjadi
sarana untuk menghargai kekuasaan-Nya yang Maha Besar serta untuk
meneliti keagungan luas kerajaan dan kekuasaan-Nya yang menjadi petunjuk
untuk mengenali karunia dan rahmat-Nya, juga harus ditegakkan.
Aspek
kedua dari pengabdian diri kepada pengkhidmatan Allah yang Maha Kuasa
adalah dengan mengabdikan dirinya kepada mengkhidmati mahluk
ciptaan-Nya, mengasihi mereka, berbagi beban dan kesedihan mereka.
Selayaknya ia bersusahpayah untuk memberikan kesenangan kepada mereka
dan mengalami kesedihan untuk bisa memberikan penghiburan.
Dari
sini terlihat bahwa yang namanya realitas Islam itu adalah sesuatu yang
amat luhur dimana tidak ada seorang pun bisa benar-benar mengaku Muslim
sampai ia itu menyerahkan seluruh wujud dirinya kepada Allah s.w.t.
berikut dengan segala kemampuan, nafsu, keinginan dan sampai ia mulai
menapaki jalan itu sambil menarik diri sepenuhnya dari ego dan
sifat-sifat ikutannya.
Seseorang disebut Muslim sejati hanya jika
kehidupannya yang semula tidak mengindahkan apa pun, telah mengalami
revolusi total dan kecenderungan kepada dosa berikut semua nafsu
ikutannya, telah dihapus sama sekali, dimana ia memperoleh kehidupan
baru yang dicirikan oleh tindakannya yang hanya melaksanakan perintah
Allah, dan terdiri semata-mata dari kepatuhan kepada sang Maha Pencipta
serta kasih kepada mahluk ciptaan-Nya. Kepatuhan kepada sang Maha
Pencipta mengandung arti bahwa untuk memanifestasikan kehormatan-Nya,
Keagungan dan Ke-Esaan-Nya, seseorang harus siap menghadapi segala
bentuk perendahan dan penghinaan, dan ia harus siap mati beribu kali
agar bisa menegakkan Ketauhidan Tuhan. Tangan yang satu harus siap
memotong tangan yang lain dengan senang hati semata-mata demi ketaatan
kepada-Nya dan kecintaan kepada keagungan Firman-Nya serta haus
mencahari keridhoan-Nya dimana hal itu menjadikan dosa sebagai suatu
yang sangat dibenci seperti api yang menghanguskan atau racun yang
mematikan atau petir yang menghancurkan, sehingga seseorang harus
melarikan diri menjauhi dengan sekuat tenaganya. Demi memperoleh
keridhoan-Nya, kita harus menekan semua nafsu ego kita. Untuk
menciptakan hubungan dengan Wujud-Nya, kita harus siap memasuki semua
bentuk mara bahaya dan untuk membuktikan hubungan demikian, selayaknya
kita memutuskan hubungan dengan yang lainnya.
source : http://markaziindonesia.net
|
No comments:
Post a Comment