A. FOSIL
Difinisi
Fosil adalah sisa atau jejak atau bekas hewan maupun
tumbuhan yang hidup pada masa lampau yang telah membatu, tertimbun, dan
terawetkan secara alamiah. Jadi fosil tidak selalu dalam bentuk sisa jasad,
tetapi dapat pula dalam bentuk hanya berupa telapak kaki suatu hewan.
Berdasarkan difinisi ini, maka Mummy orang Mesir tidak
dapat dikatakan sebagai fosil, demikian pula dengan peralatan-peralatan hidup
manusia purba.
Apakah batubara dan minyak bumi disebut fosil ?
Fosil kebanyakan berada pada batukapur, batupasir, dan shale (batuan
sediment). Kandungan-kandungan organisma dapat juga terjebak pada aspal alam, amber,
dan es.
Batas antara masa lampau dan masa kini adalah pada awal
Holocen yaitu sekitar 11.000 tahun yang lalu. Sedangkan jarak/rentang umur
fosil dari 3,5 milyar tahun – jejak-jejak tua dari microscopic cyanobacteria
(ganggang biru-merah) sampai 10.000 tahun sisa-sisa tua dari binatang-binatang
yang terawetkan selama zaman es terakhir
Paleontologis (adalah ilmuwan yang mempelajari kehidupan prasejarah)
menggunakan fosil-fosil untuk membaca bagaimana kehidupan telah berubah dan
juga bagaimana sejarah bumi.
Syarat-Syarat Terbentuknya Fosil
Ada beberapa syarat untuk dapat terbentuknya fosil, yaitu
:
1.
Jasad-jasad
tersebut memiliki bagian badan yang dapat tahan lama, yaitu rangkanya
mengandung mineral atau zat tanduk.
2.
Jasad tersebut
telah mati dan tertimbun oleh batuan dalam waktu yang relatif singkat.
3.
Jasad terhindar
dari perobahan-perobahan kimiawi dan fisik oleh batuan yang menutupinya
Penyelidikan Fosil
Paleontologi adalah bagian dari ilmu geologi yang menguraikan
penyelidikan dan interpretasi fosil. Ahli Paleontologi menggunakan fosil
terutama untuk :
1.
Menentukan umur
relatif suatu batuan.
2.
Mengetahui keadaan
lingkungan dan ekologi masa lampau.
Paleontologi banyak membantu ahli Geologi memahami sejarah masa lalu bumi
melalui fosil.
Jenis Fosil
Berdasarkan tipe pengawetannya, fosil dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, yaitu :
1.
Fosil tidak
berubah
Semua bagian organisme terawetkan,
bagian yang keras maupun bagian yang lunak, misalnya Mammoth yang terawetkan di
dalam es di Siberia.
2.
Fosil yang
mengalami perubahan
Perubahan dapat berupa :
a. Permineralisasi
Bagian keras yang poreus yang asli terawetkan, tetapi
beberapa unsur mineral sekunder mengisi ruang antar sel.Sebagian besar
tulang-tulang Vertebrata dan cangkang-cangkang Invertebrata terawetkan dalam
bentuk ini. Akibat penambahan mineral sekunder, fosil-fosil sering menjadi lebih
berat dan lebih awet dari pada bagian keras yang asli yang tak terubah.
Sebagian besar tulang-tulang Dinosaurus dan Mamalia dan “Petrifield Wood” (kayu
yang membatu)adlah hasil permineralisasi
b. Replacement
(penggantian)
Mineral sekunder mengganti semua material fosil asli.
Hasilnya adalah jiplakan fosil asli yang hampir sempurna. Contohnya kayu yang
seluruhnya terganti oleh silika seperti yang terdapat di Wonosari –Yogyakarta.
“Replacement occurs when
an organism is buried in mud and its remains are replaced by sulfide (pyrite)
or phosphate (apatite) minerals. This process may replace soft tissue,
preserving rarely seen details of the organism’s anatomy. X-ray scanning of
some German shales from the Devonian Period (410 million to 360 million years
before present) have revealed limbs and antennae of trilobites (extinct
ocean-dwelling arthropods) and tentacle arms of cephalopods (highly developed
mollusks) that have been pyritised (replaced by pyrite). Paleontologists have
used mild acids to etch the phosphatized fossil remains of ancient fish found
in Brazil
to reveal structures such as gills and muscles. Although mineral replacement is
rare, fossils created in this way are important in helping paleontologists
compare the anatomical details of
prehistoric organisms with those of living organisms”.
c. Rekristalisasi
Dalam proses ini setiap butiran yang sangat halus dari
material asli dari bagian yang keras mengalami reorganisasi (penyusunan
kembali) ke dalam kristal-kristal yang lebih besar dari material yang sama.
Biasanya tidak ada material baru yang masuk maupun keluar, dan akibatnya tidak
ada perubahan bentuk luar dari bagian yang keras. Walaupun demikian, beberpa
sturktur dalam dari bagian yang keras
biasanya rusak.
Beberapa kulit binatang tersusun dari mineral aragonit,
terbentuk dari kalsium karbonat yang terurai lebih dari jutaan tahun dalam
bentuk mineral kalsit yang lebih stabil. Metoda pengawetan ini disebut rekristalisasi
“Many animal shells are
composed of the mineral aragonite, a form of calcium carbonate that breaks down
over millions of years to form the more stable mineral calcite. This method of
preservation, called recrystallization, destroys the microscopic details of the
shell but does not change the overall shape. Snail shells and bivalve shells
from the Jurassic Period (205 million to 138 million years before present) and
later are still composed principally of aragonite. Most older shells that have
been preserved have recrystallized to calcite”.
3. Fosil fragmen
Fosil berupa fragmen-fragmen, dan
fragmen-fragmen tersebut dapat berubah maupun tidak berubah.
4. Fosil jejak atau bekas
Tidak semua jasad hidup menjadi fosil
dalam bentuk yang sempurna utuh dan mudah dikenali, sering kali hanya berupa
bukti-bukti tidak langsung, misalnya berupa jejak atau telapak binatang.
Fosil-fosil berupa jejak atau bekas adalah
- Mold, Cast, dan Imprint
Bila bagian keras dari hewan semuanya terlarutkan,
lobangnya tinggal dalam batuan sedimen yang melingkunginya. Cetakan demikian
disebut Mold. Bila yang tercetak bagian luar maka disebut External
Mold, sedangkan bila yang tercetak bagian dalam maka disebut Internal
Mold.
Mold dapat terisi oleh material sekunder mem bentuk
jiplakan yang secara kasar sama dengan bentuk aslinya. Fosil demikian disebut Cast.
Bila yang tercetak bagian luar maka disebut External Cast, sedangkan
bila yang tercetak bagian dalam maka disebut Internal Cast.
Imprint biasanya terbentuk bila organisme tercetak di
dalam sedimen yang halus (misalnya pasir halus atau lumpur), dan akhirnya
terlepas.
- Track, Trail, dan Burrow
Track dan Trail terbentuk karena perpindahan organisme
diatas sedimen- sedimen lunak
Track adalah jejak berupa telapak, sedangkan Trail adalah jejak berupa
seretan.
Burrow adalah jejak dari organisme penggali. Lobang-lobang galian yang
ditinggalkan oleh organisme sering terawetkan oleh pengisian lobang dengan
sedimen yang komposisinya berbeda.
- Coprolit
Coprolit adalah fosil berupa kotoran hewan. Koprolit oleh
ahli Geologi digunakan untuk menentukan tempat hidup, makanan, dan ukuran
relatif dari hewan tersebut.
d. Fosil Kimia
Jejak asam organik seperti yang dijumpai dalam sedimen
Pra-Kambrium dipandang sebagai Fosil Kimia.
Pada umumnya fosil terbentuk sebagai hasil kombinasi dari
beberapa proses tersebut di atas. Fosil juga diklasifikasikan seperti
klasifikasi organisme dalam Biologi. Tetapi, karena fosil hanya diwakili oleh
bagian yang keras, maka klasifikasi fosil terutama didasrkan pada faktor-faktor
morfologi bagian keras tadi.
Carolina Biological Supply/Phototake NYC
Fossil-bearing Rocks
Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation. All
rights reserved.
Processes of Fossilization
Many factors can influence
how fossils are preserved. Remains of an organism may be replaced by minerals,
dissolved by an acidic solution to leave only their impression, or simply
reduced to a more stable form. The fossilization of an organism depends on the
chemistry of the environment and on the biochemical makeup of the organism. As
a result, not all organisms in a community will be preserved.
a. Carbonization
Plants are most commonly
fossilized through carbonization. In this process, the mobile oils in the
plant’s organic matter are leached out and the remaining matter is reduced to a
carbon film. Plants have an inner structure of rigid organic walls that may be
preserved in this manner, revealing the framework of the original cells. Animal
soft tissue has a less rigid cellular structure and is rarely preserved through
carbonization. Although paleontologists have found the carbonized skin of some ichthyosaurs,
marine reptiles from the Mesozoic Era (240 to 65 million years before present),
the microscopic structure of the skin was not preserved.
b. Patrifaction
Another common mode of
preservation of plants is petrifaction, which is the crystallization of
minerals inside cells. One of the best-known forms of petrifaction is
silicification, a process in which silica-rich fluids enter the plant’s cells
and crystallize, making the cells appear to have turned to stone (petrified).
Famous examples of silicification may be found in the petrified forests of the
western United States
(see Petrified Forest
National Park).
Petrifaction may also occur in animals when minerals such as calcite, silica,
or iron fill the pores and cavities of fossil shells or bones.
c. Soft-Tissue Preservation
The soft tissues of animals
are preserved only under extremely unusual conditions, and the preserved tissue
usually lasts for only a short period of geological time. In the Siberian permafrost
(earth that remains frozen year-round), for example, entire mammoths have been
preserved in ice for thousands of years. The remains of the mammoths’ last
meals have sometimes been preserved in the stomachs, allowing paleontologists
to study the animals’ diet.
Mummification may occur
in hot, arid climates, which can dehydrate organisms before their soft tissue
has decayed fully. The skin itself is preserved for only a short time, but the
impressions of the skin in the surrounding sediment can be preserved much
longer if the sediment turns to rock. Paleontologists have found skin
impressions of dinosaurs preserved by this method.
d. Organic Traps
Whole organisms may become
trapped and preserved in amber, natural asphalt, or peat (decaying
organic matter). Amber is the fossilized remaining part of tree sap. When sap
first flows from the tree, it is very thick and sticky, so as it runs down the trunk,
it may trap insects, spiders, and occasionally larger animals such as lizards.
These organisms can be preserved for millions of years with details of their
soft tissue, such as muscles and hair-like bristles, still intact.
Natural asphalt (also
called tar) is a residue from oil that has seeped to the earth’s surface from
deposits in the rock below. When an asphalt pit is covered by water, thirsty
animals that come to the pit to drink may become trapped in the sticky
substance and be preserved. One well-known example of such an area is the La
Brea Tar Pits of the Pleistocene Epoch (1.6 million to 10,000 years before
present) in Los Angeles, California.
Animals may also be preserved
in peat, although the acidic environment of this decaying organic matter may
cause bones to lose their rigidity. Some human remains have been found in peat
bogs in Denmark
(2000 years old) and England
(2200 years old).
e. Mold and
Cast
Acidic conditions may
slowly dissolve away the skeleton of fossil animals preserved in rock, leaving
a space where the organism used to be. The impression that is left in the rock
becomes a mold. This process commonly occurs in fossil shells where the calcite
shell dissolves easily. The impression of the outside of the shell is the
external mold. Sometimes the inside of the shell is filled with sediment before
the shell is dissolved, leaving an internal impression of the shell called an
internal mold. If the space where the shell used to be is then filled with a
new mineral, the replica of the shell forms a cast.
f. Tracks
and Trails
When animals walk through
soft sediment such as mud, their feet, tails, and other body parts leave
impressions that may harden and become preserved. When such an impression is
filled with a different sediment, the impression forms a mold and the sediment
that fills the mold forms a cast. Molds and casts of dinosaur tracks are
relatively common and help paleontologists understand how these creatures
moved.
g. False Fossils
Minerals can sometimes
grow within rocks into shapes that resemble fossils. Dendrite crystals are
often mistaken for fernlike fossils. Flint
nodules in chalk can look like a variety of different life forms. Mineral
concretions in sediments are sometimes mistaken for fossilized eggs. It is only
with close study that the true nature of false fossils can be discovered.
Modern animals and plants
sometimes become mummified or coated in travertine (calcium carbonate
salts from springwater), or they may die while trapped in cracks in older rock
strata. These remains are not true fossils, but trapped animals and plants may
eventually fossilize with time.
Where Fossils
Form
Fossils are found in all
parts of the world, from Greenland to Antarctica. They can be found in cores drilled in and
retrieved from the ocean floor, and on top of the highest mountains. Their wide
geographical distribution is a result of the way the earth’s surface has
changed throughout its history.
The earth’s crust is made
up of several large tectonic plates that float on the earth’s liquid mantle (see
Plate Tectonics). These tectonic plates have moved throughout geological
time, forming large land areas and mountain ranges, and forming and closing off
seas. Some land that is now in the polar regions was once closer to the
equator, and many modern mountain ranges were once under water.
The global climate has
also changed over geological time, alternating between periods of warmth and
ice ages. These climatic conditions affected the distribution of life on the
earth and are reflected in the fossil record. Fossils are abundant in rocks
that were formed in tropical and equatorial regions for the same reason that
life is most abundant at these latitudes today—a warm, tropical climate
supports a wider variety of life forms than does a cold climate.
The types of fossils found
in a particular region depend on the age of the rocks that are currently
eroding at the surface. Some areas have become famous for the types of fossils
found there, such as China and the badlands (rugged, rocky areas with
little vegetation) of the United States and Canada, where an abundance of
dinosaur fossils from the Cretaceous Period (138 million to 65 million years
before present) have been found. Some fossils are restricted to small areas and
some are distributed globally. The most widespread fossils are the remains
of organisms that lived in oceans and
could move with the currents, such as foraminifera, and those that lived on
land and were spread by wind, such as spores. Fossils of graptolites
(marine invertebrates that lived in colonies) in rocks of marine origin and of
ferns on land are now found on all continents. Certain species of shallow-water
trilobites, and dinosaurs that were restricted to land, are found only at
particular localities.
Different types of fossils
are found in different geological formations, depending on the prehistoric
environment represented and the age of the rock. Older rocks are found on low,
eroded continents near the edges of large oceans. Younger rocks are found more
commonly where there is active mountain building and volcanic activity. Old
fossils are most commonly found where an old mountain range has eroded, such as
in eastern North America and northern Europe, or where two old continents have collided, such
as in Russia.
Younger fossils are found at the ocean side of young mountains where an ocean
plate is colliding with a continental plate, such as in western North and South America and in New Zealand.
Learning From
Fossils
Paleontologists use fossils
to reconstruct how prehistoric organisms might have looked. Fossils that are
found grouped together can suggest how an organism interacted as part of a
community. Sometimes the microscopic structure of an organism is preserved, as
well as different growth stages from embryo to adult. Such remains allow
paleontologists to determine how closely related fossil organisms are to one
another and to living organisms. When studying extinct organisms with no
obvious living relatives, such as graptolites, paleontologists look at the
microscopic structure and chemical composition of the remains to determine if
there is a living relative.
Paleontologists must sometimes
compare the fossils of extinct organisms with living organisms to draw
conclusions about the nature, behavior, or habits of prehistoric life forms.
For example, the inner chambers of the extinct ammonites (squidlike mollusks
with a spiral shell) can be compared with the inner chambers of the living nautilus.
The sharp, serrated teeth of Tyrannosaurus are similar to those of
living carnivores, indicating that this dinosaur was also a meat eater.
Similarly, the flattened teeth of Hadrosaurus, which resemble the teeth of
living herbivores, suggest that this duck-billed dinosaur was a plant eater.
Some fossils reveal information
about how a species grew. Paleontologists have found fossils of the empty
shells of trilobites, for example, that reveal that the animals shed their
shell-like skeletons as they grew into adult forms, much as shrimps and crabs
do today. Vertebrates have internal skeletons that cannot be shed at different
growth stages. In order for paleontologists to gather information about the
growth stages of vertebrates, therefore, they must study the fossilized bones
of animals that died during certain stages. For example, paleontologists have
discovered a dinosaur nesting site in Montana
that contains skeletal fossils of the duck-billed Maiasaura that represent
various stages from embryo to adult.
Prehistoric organisms
interacted with one another in much the same way as living organisms do today.
Paleontologists have identified predators and their victims using evidence such
as the teeth marks of mosasaurs (large, carnivorous marine lizards) on
ammonites. Evidence of fighting between rivals can be seen in the fossils of
some crocodiles, in which the jaws or ribs have been broken and have healed.
Prehistoric animals also suffered from disease and deformities, as evidenced by
such fossils as arthritic hip joints of plesiosaurs or split segments of
trilobites. Fossil plants show evidence of parasitism and disease, as well as
evidence of having been fed on by insects and larger animals.
a. Evolution
The fossil record contains
evidence of how life has changed and evolved throughout the earth’s history.
The earliest fossils are more than 3.5 billion years old. They are simple,
microscopic, single-celled bacteria called blue-green algae. There is little
evidence of change in the life forms on earth over the next 3 billion years,
except that cyanobacteria (formerly known as blue-green algae) began growing in
layered colonies called stromatolites. The first complex life—jellyfish and
worms—appears in the fossil record about 680 million years ago. The first
vertebrates evolved about 570 million years before present, at the border
between Precambrian time and the Paleozoic Era. At this point, the seas also
became abundant with a variety of life forms.
About 400 million years
before present, some living organisms migrated onto land, and pioneering plants
and arthropods became common. Vertebrates soon took advantage of this new
habitat, and reptiles appeared about 330 million years before present. Early
mammals appeared about 100 million years later, during the Mesozoic Era, when
dinosaurs roamed the earth. After the extinction of the dinosaurs 65 million years
before present, mammals moved into habitats left vacant by the dinosaurs and
developed, with other survivors, into the creatures that exist today. Flowering
plants appeared about 120 million years before present, becoming abundant after
the extinction of the dinosaurs.
The fossil record also
reveals how individual species evolved over time. It is possible to study such
changes by comparing older fossils found lower in a sedimentary formation with
the younger fossils found higher in the formation. The study of the succession
of geological time represented by these sediments and fossils is called
stratigraphy.
The fossil record suggests
that evolution may have progressed at different rates—sometimes gradually, and
at other times in short bursts. This is difficult to prove, however, because
sedimentation is rarely continuous over long periods of time. Paleontologists
theorize that rapid evolutionary events commonly occur after a major
extinction, such as that of the dinosaurs. This may be so because populations
of different species move into the newly unoccupied position, or niche, within
a community left vacant by the extinct species.
Convergent evolution occurs when an animal with a shape that was well
suited to its function becomes extinct, and a new animal that replaces the
extinct one evolves a similar shape to perform a similar function. This type of
evolution has occurred in dolphins and porpoises that moved into the
environmental niche left vacant by the extinction of ichthyosaurs. Although
there are substantial differences between the extinct ichthyosaurs and today’s
dolphins and porpoises, and although their ancestry is very different, the
basic form that dolphins and porpoises adapted for living in the ocean is
similar to that of ichthyosaurs.
b. Climate
and Landscape
Paleontologists can also
gather information about the climates of prehistoric times by studying fossils
and sediments. This field of study is called paleoclimatology. In general,
animal and plant life is more abundant in warm, humid equatorial climates and
less abundant in both hot and cold dry climates. In the sea, corals may provide
evidence of changes in climate as well as in water depth because they generally
grow best in warm, shallow seas. Studies of isotopes in fossilized calcite skeletons
can help determine the water temperature in which animals, such as belemnites
(an extinct group of marine organisms resembling small squid), lived.
Because of the movement
of the earth’s tectonic plates, most continents have drifted through various
climatic zones over geological time. As a result, a particular region may have
passed more than once through equatorial regions with rain forests, through
tropical latitudes with deserts, and through temperate zones. The fossil record
suggests that climatic variation is greater now than it was during the Jurassic
Period. In Antarctica, Australia, and New Zealand, which were all close to the
South Pole during the Jurassic Period, fossils of plants and animals that are
normally associated with warm climates have been found.
Fossil
Discovery and Collection
Before paleontologists
begin new fieldwork, they first study the geology of the region to determine if
it is likely that fossils are present. Sometimes they visit a site that has
already been documented. The typical tools of a paleontologist include a
hammer, chisels, eye protection, gloves, a hard hat, a notebook and pen,
collecting bags, maps, and a compass. Paleontologists take field notes as
fossils are collected: For each fossil, they record the precise locality,
stratigraphic level, and any associated fossils. Each fossil is given a unique
identifier (such as a number) that is attached to it so that data recorded from
the site can be related to individual fossils. After returning from a trip,
paleontologists examine any unidentified fossils more closely.
Paleontologists usually
donate fossils of a new species or of some other importance to museums, where
the fossils are preserved and displayed. Although fossils may have survived for
many millions of years, it may take only a very short time for them to
disintegrate once they are exposed. Scientists have a variety of tools at their
disposal to slow or halt this disintegration. The method of preservation they
select depends on the kinds of minerals in the fossil. If a fossil has been
pyritized, it can be very difficult to prevent so-called pyrite-rot, or
oxidation of iron sulfides, which
destroys the fossil. In general, stable humidity and temperature and an
acid-free environment help protect fossils from decay.
Dating and
Classifying Fossils
Paleontologists have established
a basic history of life on earth based on the known fossil record. They can
determine the relative age of a fossil of a new species by examining the
fossils in its surroundings. Some organisms lived for only a short period of
geological time, and paleontologists use the fossils of these organisms as
indicators to establish the age of fossils found in association with them. If
similar fossils have been found over a wide geographic range, the fossils may
be used to correlate the dates of formations in different localities. A
stratigraphy (a map of rock layers) can be drawn up based on the occurrence of
fossils. Many ammonites from the Jurassic and Cretaceous periods are used in
this way, as are graptolites in older rocks.
Paleontologists use radiometric
dating to determine more precisely the age of fossils (see Dating
Methods: Radiometric Dating). In this process, they study the isotopes
of minerals in the rock surrounding the fossil. Knowing the rates at which the
isotopes decay, and having determined how much of the isotope has decayed in
the rock sample, paleontologists can determine the age of the rock—and thus the
age of the fossil preserved in the rock.
Fossils are classified
using several techniques. The three most popular techniques are evolutionary
taxonomy, numerical taxonomy, and cladistics. Evolutionary taxonomy is
the method that was most commonly used in the past. It is based on comparing
the shape, structure, and relationships of organisms within a stratigraphic
framework. Many paleontologists believed this method was too subjective and
developed numerical taxonomy as an alternative. Numerical taxonomy uses
a mathematical comparison of organisms in which measured features of the organisms
are related. In an effort to achieve still greater objectivity, some
paleontologists developed a third method, cladistics, based on
classifying organisms according to certain features that are either primitive
or derived. Primitive features are those that are common to all
organisms within a group, whereas derived features are evolutionary novelties.
Paleontologists have had problems with subjectivity in cladistics as well, and
the method also does not easily take into account the time dimension of the
geological record. A combination of the
methods used in cladistics and the geological record may provide a clearer
picture of the evolution of life on earth.
History of
Paleontologi
The collection and study
of fossils began in the late 17th century when English naturalist Robert Hooke
examined fossils of marine creatures from England. He realized that these
animals must have lived in different climatic conditions and were now extinct.
The field of paleontology grew as more fossils of different ages were
discovered around the globe. English scientist Charles Darwin used the fossil
record to form his theory of evolution in the 1830s. Modern paleontologists
have used the fossil record to further develop the theory of evolution and to
divide earth’s history into periods based on the kinds of life that were
present. These periods begin with Precambrian time (about 4 billion to 570
million years before present), when earth was populated by soft-bodied
organisms whose remains were not well preserved, and extend through the current
time period, the Recent, or Holocene, Epoch (10,000 years before present to the
present time).
Contributed By:
Neil Clark
Neil Clark
Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. ©
1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved.
B. SEKALA WAKTU GEOLOGI
Berapa umur bumi ?
Kapan bumi terbentuk ?
Bagaimana mengetahuinya ?
Yang pasti tidak ada yang pasti, berapa umur bumi dan kapan bumi terbentuk.
Berdasarkan gejala-gejala geologi pada kulit bumi yang terekam, ilmu
pengetahuan memperkirakan bumi telah terbentuk dalam milyaran tahun yang lalu
yang disusun dalam Skala Waktu Geologi.
Geovani Arduino (1760) seorang Geolog dari Italia menyusun pembagian Skala
Waktu Geologi menjadi empat bagian yaitu umur tertua (Primer), umur menengah
(Sekunder), umur muda (Tersier), dan
umur termuda (Kwarter).
Dasar pembagian kurun tersebut adalah dilihat dari ada dan belum adanya
kehidupan.
Waktu Geologi dinyatakan dengan beberapa sekala yaitu :
·
Era (Masa) adalah
sekala waktu yang didasarkan pada perkembangan kehi-dupan di dunia dan kegiatan
pembentukkan pegunungan yang menyeluruh.
·
Periode (Zaman)
adalah sekala waktu yang didasarkan pada kegiatan pembentukkan pegunungan
secara regional/lokal.
·
Epoch (Kala)
adalah sekala waktu yang didasarkan pada kandungan fosil.
·
Age (Waktu) sekala
waktu yang didasrkan pada fauna dan flora/zaman es.
Era terdiri dari beberapa periode
Periode terdiri dari beberapa epoch
Epoch terdiri dari beberapa age
Bumi kita ini hingga kini telah mengalami 5 masa yaitu :
1.
Arkheikum (Azoikum)
a = tidak dan zoon = kehidupan. Batuan sedimen pada masa ini sama sekali tidak
dijumpai adanya fosil. yaitu zaman
tertua
2.
Proterozoikum
(Algonkium) proto = masa lampau. Batuan
sedimen masa ini hanya mengandung sisa-sisa bentuk kehidupan yang sangat sederhana yaitu zaman kebangkitan ?
Kedua masa tersebut sangat sulit
dibedakan, sehingga keduanya kadang-kadang dijadikan satu masa dan disebut
Arkheozoikum.
3.
Paleozoikum. Paleo
=tua/kuno yaitu zaman tua masa dimana sudah terdapat jenis flora dan fauna tetapi
semua jenis kehidupan tersebut telah punah kecuali beberapa bentuk yang
jumlahnya tidak banyak.
4.
Mesozoikum. Mesos
= tengah yaitu zaman pertengahan
mempunyai flora dan fauna yang erat hubungan kekeluargaannya dengan flora & fauna sekarang meskipun sejumlah
besar dari jenisnya telah punah. Ciri utama dari masa ini yaitu adanya reptil
raksasa.
5.
Neozoikum
(kenozoikum) kainos = baru yaitu zaman
baru. Pada masa ini dijumpai binatang menyusui dan binatang lunak yang kini
masih kita jumpai.
Adanya manusia di dunia diperkirakan pada akhir
Kenozoikim.
Setiap masa dibagi dalam zaman yang didasarkan atas kumpulan kehidupan yang
terkhususkan. Pemberian nama zaman didasarkan atas beberapa alasan diantaranya
:
·
nama
wilayah/tempat dimana singkapan untuk zaman tersebut tersingkap lengkap
misalnya Devon, Perm, dan Yura.
·
suku bangsa yang
tinggal di daerah itu misalnya Kambrium yang berasal dari Kambria.
·
sifat batuan
misalnya Karbon dan Kapur
Arkheikum sampai Arkheozoikum
berlangsung selama 800 juta tahun. Pada Arkheikum (zaman tertua) di bumi ini
belum terdapat mahluk hidup sama sekali. Permulaan
adanya mahluk hidup yaitu pada Arkheo-zoikum.
Proterozoikum berlangsung selama 500 juta tahun dan pada zaman ini
mulai hidup binatang ber sel satu (Protozoa).
Paleozoikum (zaman tua) berlangsung selama 325 juta tahun. Pada era
ini sudah banyak terjadi sedimentasi yang mengandung fosil. Era Paleozoikum terbagi
dalam 6 masa yaitu :
- Masa Kambrium
- Masa Ordovisium
- Masa Silur yaitu adanya ikan (binatang bertulang belakang pertama)
- Masa Devon
- Masa Karbon yaitu adanya binatang amfibi dan tumbuhan pakis. Dan pada masa ini juga mulai pembentukan batubara
- Masa Perm yaitu masa trilobit terakhir
Mesozoikum (zaman pertengahan) berlangsung selama 125 juta tahun
yang terbagi dalam 3 masa yaitu :
- Masa Trias
Pada masa ini mulai hidup binatang
reptil (brahiuosaurus)
- Masa Jura
Pada masa ini mulai hidup mamalia rendah (binatang
berkantung) dan repti terbang
- Masa Kapur
Pada masa ini mulai tumbuh foraminifera
(tumbuhan berbiji tertutup
Neozoikum disebut juga Kenozoikum atau zaman baru. Zaman ini berlangsung
selama 50 juta tahun yang terbagi menjadi 6 masa. Empat masa pertama
berlangsung selama 49,4 juta tahun dan dua masa kedua berlangsung selama
600.000 tahun. Masa-masa itu adalah:
·
Masa Eosen
·
Masa Oligosen
·
Masa Meosen
·
Masa Pleosen
Keempat masa ini ditandai dengan mulai adanya kehidupan binatang mamalia tinggi:
nenek moyang kuda, kuda nil, dan babi. Dan pada masa ini mulai ada gejala orogenetik
dan vulkanisme. Terbentuknya rangkaian pegunungan muda dunia yaitu Sirkum
Pasifik dan Sirkum Mediterania disertai dengan pembentukan gunung api – gunung
api. Batubara juga terbentuk pada masa ini dan tergolong sebagai batubara muda
yang banyak mengandung gas.
·
Masa Pleistosen
(Diluvium). Pada masa inilah manusia pertama, mamut, reindeer. Pada masa ini
suhu permukaan bumi turun 2oC sehingga terjadi Zaman Es, permukaan
laut turun sekirtar 70 meter.
·
Masa Holosen
(Aluvium) merupakan masa flora fauna baru hingga sekarang
Jadi umur bumi kita sejak menjadi padat (bukan berupa kabut pijar) sampai
sekarang diperkirakan 800 juta + 500 juta + 325 juta + 125 juta + 50 juta tahun
= 1.800 juta tahun
© Microsoft
Corporation. All Rights Reserved.
Geologic Time Scale
Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. ©
1993-2001 Microsoft Corporation. All rights reserved.
Kapan bumi kita ini terbentuk ? Berapa usianya hingga
saat ini ? Adalah pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawab secara pasti. Karena
jawabannya melebihi dari usia kita, usia bapa-ibu kita, bahkan melibihi usia
kakek buyut kita. Ribuan tahun bahkan milyaran tahun untuk usia suatu epoch
geologi. Untuk itu maka digunakan
pendekatan yang secara garis besarnya terdiri dari dua macam ukuran,
yaitu pendekatan umur relatif dan pendekatan umur absolut.
1.
Pendekatan Umur Relatif
Pendekatan umur relatif adalah merupakan penetuan umur
lapisan-lapisan batuan dalam bentuk perbandingan lapisan mana yang lebih dulu
terbentuk dan lapisan mana yang terbentuk kemudian. Atau dengan kata lain
lapisan mana yang lebih muda antara kedua lapisan batuan yang kita lihat. Ada
beberapa pendekatan untuk menetukan uimur relatif, antara lain :
a. Superposisi
Metode Superposisi menyatakan bahwa
lapisan sedimen yang paling atas menunjukkan umurnya lebih muda dari pada
lapisan di bawahnya. Dan sebaliknya lapisan
bawah menunjukkan umurnya lebih tua dari pada lapisan di atasnya. Hal
ini dapat kita pahami karena proses sedimentasi berjalan seperti itu.
Metode ini digunakan hanya berlaku pada batuan sedimen
yang belum mengalami perubahan posisi.
b. Intrusi
Intrusi adalah
penyusupan magma ke dalam kerak bumi sampai mengalami pembekuan. Hal ini dapat
diasumsikan bahwa batuan intrusi umurnya lebih muda dari batuan disekitarnya
(yang disusupinya).
c. Deformasi
Deformasi adalah
lapisan sedimen yang mengalami perubahan formasi karena adanya proses geologis
seperti pelipatan dan patahan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa bentuk lipatan
atau patahan terjadi setelah adanya lapisan sedimen. Atinya bahwa lapisan
sedimen umurnya lebih tua dari peristiwa lipatan atau patahan.
d. Metamorfosa
Metamorfosa disini dimaksudkan pada
proses perubahan bentuk dan struktur (disebut juga malihan). Misalnya Batuan
Kapur berubah menjadi Marmer.
Hal ini dapat diasumsikan bahwa umur Marmer lebih muda
dari Batuan Kapur yang ada disekitarnya.
e. Perubahan Binatang
Setiap lapisan
sedimen biasanya mengandung fosil dengan karakteristik masing-masing menurut
tempat dan waktu organisme itu hidup. Karakteristik fosil dalam setiap lapisan
sedimen disebut Facies Palaentologi.
Dengan memadukan prinsip Superposisi maka umur lapisan batuan dan umur fosil
pada suatu daerah yang sama atau berdekatan dapat dibedakan. Tetapi untuk
daerah yang berjauhan dan telah mengalami perubahan posisi oleh tenaga eksogen
atau oleh tenaga endogen, penetuan umur relatif ditentukan berdasarkan analisis
korelasi.
Menurut kajian Biologi bahwa species tertentu hidup hanya
dalam satu interval waktu tertentu dalam perkembangan sejarah geologi,
selanjutnya digantikan oleh species lain.
f. Horizonisasi Tanah
Apa bila kita
menggali penampang tanah, maka akan didapati lapisan-lapisan tanah yang
mempunyai karakteristik yang berbeda. Secara mudah yang dapat dilihat perbedaan
warna dari masing-masing lapisan. Lapisan-lapisan ini disebut dengan Horizon
Tanah. Pembentukan horizon ini memerlukan waktu yang sangat lama dan
berdasarkan pendekatan superposisi, maka umur horizon atas lebih muda dari
horizon di bawahnya.
2. Pendekatan Umur
Mutlak
Umur mutlak dalam
perhitungan waktu geologi tidak semutlak perhitungan umur manusia yang dapat
tercatat secara pasti kapan dia lahir. Penentuan umur bumi dengan metode yang
ada, standar kesalahannya ada yang sampai 200 juta tahun. Sejak tahun 1950-an
pengukuran umur mutlak mulai berkembang. Beberapa metode pengukuran umur mutlak
antara lain :
a. Kadar Garam Air
Laut
Kadar garam air laut berasal dari daratan yang dibawa
oleh air sungai, sehingga dapat dihitung berapa jumlah garam yang di bawa oleh
sungai tersebut setiap tahunnya.
Pada tahun 1898, Joly menghitung umur laut dengan
metode ini.
15 x 1015
kg (banyaknya garam dalam laut)
--------------------------------------------------------------------- = 99 juta tahun
15,1 x 107 kg (rata-rata tambahan garam
pertahun)
Kelemahan metode ini :
1.
Tidak
memperhitungkan sumber garam yang lainnya, misalnya reaksi kimia di dalam laut,
letusan gunung api di dasar laut, dan sebagainya.
2.
Tidak
memperhitungkan perubahan jumlah populasi manusia yang sema-kin bertambah
dengan berbagai macam aktifitasnya yang memungkinkan penambahan masukkan kadar
gara ke laut melalui aliran sungai.
b. Tingkat
Sedimentasi
Metode ini digunakan pada batuan sedimen tidak mengalami
perubahan posisi. Umur lapisan batuan dapat dihitung dengan membandingkan
antara tebalnya lapisan suatu endapan dengan besarnya penambahan endapan setiap
tahunnya.
Misalnya tebal lapisan endapan di pantai adalah 10.000
mater, dan hasil pengukuran menunjukkan bahwa penambahan endapan sebanyak 0,5
mm pertahun. Maka umur lapisan endapan tersebut adalah :
10.000.000 mm
= 20 juta tahun
0,5 mm/tahun
Atau umur lapisan terbawah dari sedimen tersebut adalah
20 juta tahun.
c. Tingkat Erosi
Dengan terukurnya tingkat/besarnya erosi tiap tahun, maka berapa lama suatu
wilayah yang tererosi pun dapat diperhitungkan. Dengan cara ini prosea erosi
mundur di Air Terjun Niagara telah diperhitungkan, dan hasilnya menunjukkan
bahwa proses erosi tersebut telah berlang-sung selama 24.000 tahun.
d. Lingkaran
Pertumbuhan Batang
Lingkaran Pertumbuhan Batang disebut juga dengan Lingkar
Tahun. Pohon-pohon tertentu menunjukkan adanya lingkaran-lingkaran pertum-buhan
tiap tahunnya. Apa bila pohon ini menjadi fosil yang terkubur pada suatu
lapisan sedimen, maka dengan menghitung banyaknya ling-karan pertumbuhan
berarti telah diketahui umur pohon itu. Dan dengan dimodifikasi terhadap
prinsip superposisi dan tingkat sedimentasi, maka akan lebih jauh dapat
menghitung umur suatu sedimen.
e. Radioaktif :
Metode Radioaktif (Disarikan dari Arthur Beiser. 1982. Bumi.
Jakarta : Tira Pustaka).
Dengan Metode Radioaktif
dapat diperhitungkan umur batuan dalam jutaan bahkan milyaran tahun yang
lalu. Yang diperhitungkan melalui unsur Radioaktif adalah laju pelapukkannya
yang sangat tepat. Unsur tersebut berubah menjadi unsur yang lebih stabil
secara perlahan namun konsisten atom demi atom. Proses pelapukan inti atom
radioaktif disebut dengan Transmutasi
Inti atau Desintegrasi Inti.
Beberapa istilah yang perlu diketahui :
·
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan oleh radiokatif untuk
berubah menjadi isotop lain.
·
Isotop adalah atom dari unsur yang sama tetapi memiliki jumlah
neutron yang berbeda pada intinya.
·
Neutron adalah bagian dari inti atom yang tidak bermuatan tetapi
mempunyai berat (bobot).
·
Sinar alpha adalah partikel-partikel elektron yang bermuatan negatif
dengan kecepatan sedikit di bawah kecepatan cahaya sehingga mampu menembus
seribu lembar kertas. Kecepatan cahaya = 300.000 km/detik.
·
Sinar gama adalah radiasi energi berupa gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang sangat pendek. Kecepannya sama dengan kecepatan
cahaya, mampu menembus lembaran timah hitam setebal 1 cm. Sinar ini bersifat
netral atau tidak bermuatan.
Sebagian besar metode radioaktif
didasarkan pada prinsip transmutasi inti, namun ada juga yang perhitungannya
didasarkan pada banyaknya bercak-bercak yang diakibatkan oleh penyinaran oleh
unsur radioaktif.
Berikut ini akan diuraikan secara garis
besar beberapa metoda radio-aktif dalam pengukuran unsur mutlak.
·
Uranium
Unsur Radioaktif yang sangat berguna bagi ahli Geologi
adalah Uranium, yang ditemukan dalam banyak batuan dan tersebar pada daerah
yang luas di permukaan bumi. Seluruh Uranium di bumi kelak akan menjadi Timbal
dengan melepaskan helium dalam prosesnya yang sangat lambat. Sesudah 2,25
milyar tahun, tiga perempat gumpalan isotop uranium semula masih akan berwujud
uranium, dan hanya seperempatnya yang berubah menjadi Timbal.
·
Metode Potasium
Metode ini sering pula disebut metode
peluruhan argon (K40–Ar 40).
Metode ini diketemukan tahun 1948, dan banyak digunakan
karena unsur radio aktif ini banyak terdapat di dalam batuan beku dan batuan metamorf
seperti: Biotit, Maskofit, Sanidin, Hornblende, Glaukonit, Piroksin, dan batuan
vulkanik.
K40 akan berubah menjadi Ar40
dengan jalan menangkap elektron (sinar beta), dengan waktu paruh 1,3 x 109
tahun. Dengan membandingkan jumlah kalium 40 yang masih sisa dalam batuan dan
Argon 40 yang terbentuk, maka umur batuan dapat dihitung. Dalam hal ini
diasumsikan bahwa:
1. Pada saat proses ini mulai, tidak
ada Argon di dalam batuan, hanya terbentuk dari transmutasi Kalium 40.
2. Bahwa selama proses berlangsung tidak ada tambahan atau pun pengurangan K 40
maupun AR 40 di dalam batuan. Adapun kelemahan dari metode ini
, bahwa Argon berwujud gas yang dapat hilang dari batuan pada temperatur 50–2000
C. Dengan demikian gaya-gaya tektonik, tekanan lapisan dari atas, atau
kontak dengan magma yang dapat menaikkan temperatur akan berpengaruh terhadap
jumlah Argon di dalam batuan. Penggunaannya secara efektif berkisar antara 104–4,6x106
tahun, dengan standar kesalahan sekitar 1–2%.
Konsepsi reaksi adalah sebagai berikut :
40K + β à 40AR (12% dari K)
40K + à 40Ca (88% dari K)
·
Metode Carbon-14
Karbon radoaktif yang terbentuk dalam atmosfir oleh sinar
kosmik, misalnya, kehilangan tepat setengah persediaan radioaktivitasnya selama
5.730 tahun, karena unsurnya berobah menjadi nitrogen. Seorang ahli dengan
perangkat pengukur yang peka dapat membandingkan jumlah kandungan karbon
radioaktif dengan jumlah karbon biasa yang tertinggal dalam sebuah fosil,
dengan cara itu maka dapat dihitung berapa umur fosil tersebut.
Dalam jangka waktu 5.730 tahun proporsi karbon radioaktif
akan berkurang separuhnya, dan selama 5.730 tahun berikutnya jumlah tersebut
akan berkurang separuhnya lagi, begitu seterusnya sampai sama sekali tidak
tersisa.
Ahli Geologi harus menggunakan bahan radoaktif yang umur
paruhnya lebih lama, jutaan bahkan milyaran tahun. Sebuah Isotop Kalsium
melapuk menjadi Argon dengan umur paruh 1,3 milyar tahun; Isotop Torium melapuk
menjadi Timbal; Isotop Rubidium melapuk menjadi Stronsium masing-masing dengan
umur paruh 14 milyar tahun dan 60 milyar tahun.
Unsur Radioaktif yang sangat berguna bagi ahli Geologi
adalah Uranium, yang ditemukan dalam banyak batuan dan tersebar pada daerah
yang luas di permukaan bumi. Seluruh Uranium di bumi kelak akan menjadi Timbal
dengan melepaskan helium dalam prosesnya yang sangat lambat. Sesudah 2,25
milyar tahun, tiga perempat gumpalan isotop uranium semula masih akan berwujud
uranium, dan hanya seperempatnya yang berubah menjadi Timbal.
Dengan menggunakan metode radioaktif , sampel batuan “genesis
rock” dari bulan yang dibawa oleh Astronout Apollo 15 (David R. Scott dan
James B. Irwin), diperkirakan berumur 4,15 milyar tahun dengan tingkat
kesalahan 200.000 tahun. Berarti ini mendekati hasil perhitungan umur bumi,
yang juga mengandung arti penting dalam teori terbentuknya sistem tata surya.
Berdasarkan analisis berbagai sampel batuan yang
diperoleh dari berbagai tempat di bumi, akhirnya para pakar menyusun suatu
daftar saat terbentuknya beberapa kejadian alamiah penting seperti berikut:
·
Bumi mulai
memadat/terbentuk sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu.
·
Massa batuan yang
tersebar di bumi terbentuk sekitar 3,5 milyar yahun yang lalu
·
Adanya fosil
sekitar 3,3 milyar tahun yang lalu
·
Berlimpahnya fossil
record bersamaan dengan periode Cambrium yaitu sekitar 600 juta tahun yang
lalu.
No comments:
Post a Comment