Sudah 66 tahun Indonesia merdeka. Sebagaimana
termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bangsa Indonesia tampak telah
berteguh hati untuk mengisi karunia ilahi tersebut dengan memakmurkan
negeri, mencerdaskan bangsa dan mendamaikan dunia. Sebuah idealitas yang
amat luhur. Hari setelah 66 tahun terlewati, memang banyak hal yang
dicapai, tetapi tidak kalah banyak pula hal yang terlewati.
Realitas
sejarah Indonesia kemarin hari hingga hari ini masih menunjukkan secara
nyata betapa Indonesia masih (dan sedang) dihadapkan pada aral
melintang yang bukan alang kepalang dalam mewujudkan idealitas luhur
tersebut. Ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan datang dari segala
penjuru dari dalam maupun luar negeri. Pemberontakan politis dari para
separatis yang tidak betah tinggal di NKRI, perilaku korup dan kolusif,
terjebak utang global dan seterusnya pembangunan tidak lagi murni demi
idealitas luhur. Sebuah era tinggal kandas yang dulu digembar-gemborkan,
malah akhirnya menjadi era ’’tinggal kandas’’ seiring dengan ambruknya
tahta sang raja orde baru.
Dalam sejarah manusia, berbagai
kehancuran peradaban di muka bumi sudah begitu banyak terjadi. Inti dari
kehancuran peradaban atau bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran
akhlaq, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap
aturan-aturan yang telah ada.
Sebagai misal, Kaum ‘Ad, telah
dihancurkan karena berlaku takabur dan merasa paling berkuasa dan paling
kuat. Mereka merasa tidak ada lagi yang dapat mengalahkan mereka,
sehingga mereka berkata: “Siapa yang lebih hebat kekuatannya dari kami?”
Begitu juga kehancuran yang menimpa Fir’aun, Namrudz, dan sebagainya.
Kehancuran dan kejatuhan berbagai kaum, negeri, bangsa, dan peradaban,
inilah yang sepatutnya direnungkan secara mendalam dan sungguh-sungguh
oleh bangsa Indonesia, khususnya para ulama dan cendekiawan.
Apakah gejala-gejala
kehancuran suatu negeri atau peradaban seperti yang disebutkan dalam
al-Quran dan pernah terjadi dalam sejarah manusia sudah ditemukan dalam
wilayah peradaban Indonesia? Kalau gejala-gejala itu sudah ada,
bagaimana cara menghindarkannya? Dalam melakukan upaya perubahan umat
yang mendasar, Imam al-Ghazali lebih menfokuskan pada upaya mengatasi
masalah kondisi umat yang layak menerima kekalahan. Di sinilah,
al-Ghazali mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat dan berusaha
mengatasinya, ketimbang menuding-nuding musuh.
Menurut al-Ghazali,
masalah yang paling besar adalah rusaknya pemikiran dan diri kaum
tersebut yang berkaitan dengan aqidah dan kemasyarakatan. Al-Ghazali
tidak menolak perubahan pada aspek politik dan militer, tetapi yang dia
tekankan adalah perubahan yang lebih mendasar, yaitu perubahan
pemikiran, akhlaq, dan perubahan diri manusia itu sendiri. Untuk itu,
al-Ghazali melakukan perubahan dimulai dari dirinya sendiri dahulu,
kemudian baru mengubah orang lain.
Melalui kitab-kitab yang
ditulisnya setelah merenungkan kondisi umat secara mendalam, al-Ghazali
sampai pada kesimpulan bahwa yang harus dibenahi pertama dari umat
adalah masalah keilmuan dan keulamaan. Sebagai penutup penulis berharap
semoga Tuhan senantiasa memberikan pertolongan atas cobaan yang telah
diberikan pada bangsa tercinta ini.